Relevansi Psikologi Dakwah dalam Gerakan Muhammadiyah: Masih kah Didengar dan Berdampak?
Fenomena dekadensi moral di kalangan generasi muda saat ini menjadi tantangan serius dalam pembangunan karakter bangsa. Tanda-tanda dekadensi ini tampak dalam berbagai bentuk seperti meningkatnya gaya hidup hedonis, lemahnya kesadaran spiritual, krisis identitas, serta rendahnya literasi nilai moral dan agama. Gaya hidup hedonistik ditandai dengan pencarian kesenangan sesaat, konsumtif, dan minim tanggung jawab sosial. Di sisi lain, krisis identitas membuat banyak remaja mengalami kebingungan akan jati diri, sehingga mudah terpengaruh oleh budaya luar yang tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai luhur bangsa dan agama. Situasi ini diperparah oleh derasnya arus informasi digital yang tidak diimbangi dengan kemampuan berpikir kritis dan pendalaman nilai, menyebabkan nilai-nilai moral menjadi kabur atau bahkan dianggap tidak relevan lagi (Zubaedi, 2011; Prayitno, 2022). Menghadapi tantangan ini, pendekatan dakwah yang hanya bersifat normatif dan satu arah tidak lagi memadai. Dakwah perlu dikembangkan secara psikologis dan kontekstual, dengan memahami kondisi psikososial, latar belakang, dan tantangan hidup yang dihadapi oleh generasi muda saat ini. Psikologi dakwah hadir sebagai pendekatan yang menekankan pentingnya empati, komunikasi dua arah, dan penggunaan strategi dakwah yang membumi. Sebagaimana ditegaskan oleh Khoiruddin (2022) dalam Suara Muhammadiyah, konsep IMPACT dan LISTEN menjadi alat penting dalam membangun komunikasi dakwah yang menjembatani nilai-nilai Islam dengan realitas kehidupan generasi muda masa kini. Pendekatan ini menjadikan dakwah lebih relevan, humanis, dan mampu menanamkan nilainilai keislaman secara mendalam dan berkelanjutan.
Pendidikan kader ulama Muhammadiyah merupakan strategi untuk mengatasi kelangkaan ulama dalam organisasi dan menanamkan nilai-nilai tajdid (pembaharuan) ke dalam pribadi ulama yang berwawasan luas, berintelektualitas tinggi, dan peka terhadap perubahan zaman. Strategi ini tidak hanya menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan formal, tetapi juga menjadi bagian integral dari peran organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah seperti Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Nasyiatul Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah, serta ortom lainnya yang dimiliki Muhammadiyah.
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah misalnya, pendidikan kader tidak hanya berorientasi pada pengembangan intelektual semata, tetapi juga membentuk kesadaran ideologis, spiritualitas keislaman, serta militansi gerakan yang berlandaskan pada paham Islam berkemajuan. IMM memiliki peran strategis sebagai inkubator calon ulama dan pemimpin masa depan yang memahami dinamika zaman sekaligus mampu menjawab tantangantantangan kontemporer dengan pendekatan ilmiah dan nilai-nilai Al-Qur’an dan Sunnah. Melalui forum-forum seperti Darul Arqam, pengkaderan berjenjang, dan diskusi keilmuan, IMM turut andil dalam proses kaderisasi ulama Muhammadiyah yang berlandaskan pada prinsip amar ma’ruf nahi munkar dengan pendekatan yang rasional, humanis, dan progresif. Sinergi antara pendidikan formal seperti perguruan tinggi negeri maupun dari Muhammadiyah sendiri, sehingga dengan ortom-ortom tersebut memperkuat sistem kaderisasi yang tidak hanya mencetak dai dan ulama, tetapi juga intelektual muslim yang mampu menjadi lokomotif perubahan sosial di tengah masyarakat.
Namun, masih berdampak atau terdengarkah psikologi dakwah dalam gerakan Muhammadiyah di zaman yang sudah sangat pesat seperti sekarang?
Dr. Khoiruddin memperkenalkan akronim “Impact” sebagai panduan bagi para dai dalam menyampaikan dakwah secara efektif. Akronim ini terdiri dari enam elemen penting: Integrity (Integritas), yaitu konsistensi antara ucapan dan tindakan; Manners (Tata Krama), yaitu sikap empatik dan tidak egois dalam berinteraksi dengan orang lain; Personality (Kepribadian), yakni ketulusan dalam menyampaikan gagasan dan bersikap; Appearance (Penampilan), yang mengacu pada penampilan yang menarik dan sesuai dengan situasi serta kondisi; Consideration (Pertimbangan), yaitu kemampuan memahami sudut pandang audiens; dan Tack (Ketepatan), yakni kemampuan taktis dan strategis dalam menguasai dan memengaruhi audiens. Selain itu, beliau juga memperkenalkan akronim “Listen” sebagai panduan dalam mendengarkan secara efektif dalam konteks dakwah. Akronim ini terdiri dari: Look Interested (Tampakkan Ketertarikan), yaitu menunjukkan minat yang tulus kepada lawan bicara; Inquire with Questions (Bertanya), yakni mengajukan pertanyaan untuk menggali pemahaman yang lebih dalam; Stay on Track (Tetap Fokus), menjaga agar percakapan tetap pada pokok bahasan; Test Understanding (Uji Pemahaman), yaitu memastikan bahwa pesan yang disampaikan benar-benar dipahami; Evaluate the Message (Evaluasi Pesan), yakni menilai dan menganalisis isi pesan yang diterima; serta Neutralize Your Own Feelings (Netralisasi Perasaan), yaitu mengendalikan emosi pribadi agar tidak mengganggu proses komunikasi dakwah. Kedua akronim ini merupakan strategi dakwah yang tidak hanya memperhatikan isi pesan, tetapi juga memperkuat aspek psikologis dalam membangun hubungan secara efektif dan menyentuh hati.
Sehingga, dalam konteks realitas sosial yang semakin kompleks, dakwah tidak lagi cukup hanya bersifat menghakimi atau menyalahkan, melainkan harus bertransformasi menjadi dakwah yang membina, merangkul, dan memanusiakan objek dakwah (mad’u). Pendekatan yang keras, menggurui, dan menekankan pada hukuman justru sering kali menjauhkan generasi muda dari nilai-nilai agama. Oleh karena itu, dakwah perlu dilakukan dengan kearifan, empati, dan pemahaman psikologis, agar mampu menyentuh hati dan membangkitkan kesadaran spiritual secara sukarela dan penuh kesadaran. Hal ini, dalam konteks organisasi Muhammadiyah, pendekatan ini menjadi sangat penting karena Muhammadiyah sejak awal dikenal sebagai gerakan tajdid (pembaharuan) yang menekankan pencerahan, pendidikan, dan pembinaan moral masyarakat. Mengadopsi pendekatan dakwah yang membina, Muhammadiyah tidak hanya akan mampu menjangkau lebih banyak kalangan, khususnya generasi muda, tetapi juga akan semakin memperkuat posisinya sebagai gerakan Islam yang progresif dan inklusif. Dakwah yang membina menjadikan Muhammadiyah tidak kehilangan jati diri organisasinya sebagai gerakan amar ma’ruf nahi munkar, namun justru menambah daya tariknya sebagai wadah pembentukan karakter, penanaman nilai, dan aktualisasi diri. Pendekatan seperti ini tidak hanya merevitalisasi makna dakwah dalam tubuh organisasi, tetapi juga memungkinkan Muhammadiyah untuk lebih menyatu dengan dinamika masyarakat, tanpa kehilangan idealisme, visi, dan prinsip dasar gerakannya. Maka, membina dengan pendekatan psikologis dan humanis menjadi jalan tengah yang strategis agar Muhammadiyah terus relevan, diterima, dan dicintai lintas generasi.