Filosofi Tanah Subur yang Tak Terlihat

Gambar dari Pinterest

Penulis: IMMawan F (kader IMM Unesa)

Kita hidup di zaman yang begitu memuja panggung. Sebuah era di mana nilai seseorang seringkali diukur dari seberapa terang sorot lampu yang menimpanya, seberapa nyaring tepuk tangan yang menyambutnya, dan seberapa sering namanya disebut-sebut dalam perbincangan. Kita semua, secara sadar atau tidak, didorong untuk berlomba-lomba menjadi pohon yang paling tinggi, bunga yang paling mekar, atau buah yang paling ranum.

Kita lupa, bahwa di balik setiap pohon yang menjulang gagah, setiap bunga yang merekah indah, dan setiap buah yang lezat, ada satu elemen yang bekerja dalam sunyi dan gelap, namun tanpanya semua kemegahan itu mustahil ada: tanah yang subur.

Ini adalah sebuah perenungan. Sebuah ajakan untuk kita, terutama para kader yang bergerak dalam organisasi, untuk sejenak menunduk dan mengapresiasi, atau bahkan meneladani, filosofi tanah subur yang tak terlihat.

Pesona Panggung dan Jebakan Pengakuan

Tidak ada yang salah dengan keinginan untuk tampil. Panggung adalah medium yang efektif untuk menyiarkan gagasan dan menginspirasi banyak orang. Namun, pesona panggung seringkali membawa jebakan yang halus: candu akan pengakuan. Kita mulai mengukur kontribusi kita dari jumlah "likes", dari pujian yang kita terima, atau dari posisi yang berhasil kita raih.

Energi kita habis untuk memoles citra, merangkai kata-kata yang memukau, dan memastikan kita selalu terlihat di barisan terdepan. Perlahan, fokus kita bergeser dari “memberi” menjadi “terlihat memberi”. Dan di saat itulah, organisasi kehilangan salah satu sumber kekuatan terbesarnya: mereka yang bekerja dalam senyap.

Kekuatan Sunyi Sang Tanah Subur

Tanah tidak pernah berteriak. Ia tidak pernah meminta perhatian. Ia bekerja dalam diam, di bawah pijakan kaki, tersembunyi dari pandangan. Tugasnya hanya satu: memberi. Ia memberikan nutrisi, menyalurkan air, dan menjadi fondasi yang kokoh bagi akar untuk bertumbuh. Ia tidak peduli apakah pohon yang ia tumbuhkan akan berterima kasih padanya. Kebahagiaan terbesarnya adalah melihat pohon itu tumbuh kuat dan berbuah lebat.

Dalam sebuah organisasi, kader-kader “tanah subur” ini selalu ada.

● Merekalah yang dengan tekun menyiapkan materi riset mendalam, agar sang orator di panggung bisa berbicara dengan data yang valid.

● Merekalah yang dengan teliti mengurus administrasi dan logistik, memastikan sebuah acara besar berjalan tanpa hambatan teknis sekecil apa pun.

● Merekalah yang dengan sabar menjadi mediator di belakang layar, menjembatani dua kubu yang berkonflik agar keutuhan “keluarga” tetap terjaga.

● Merekalah yang dengan ikhlas membereskan kursi dan membersihkan ruangan setelah semua orang pulang, memastikan “rumah” kita tetap nyaman untuk esok hari.

Mereka bekerja dengan ketekunan, bukan karena didorong oleh tenggat waktu atau sorotan publik, melainkan oleh panggilan internal untuk menyempurnakan ikhtiar. Mereka bergerak dengan keikhlasan, karena kepuasan mereka tidak datang dari pujian manusia, melainkan dari kesadaran bahwa mereka telah menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri.

Dampak mereka nyata, meski seringkali tak terlihat. Tanpa mereka, sang pemimpin di panggung akan kehilangan pijakannya. Tanpa mereka, gagasan-gagasan hebat hanya akan menjadi wacana. Tanpa mereka, organisasi hanyalah sebuah kerangka tanpa jiwa.

Sebuah Panggilan untuk Kembali ke Akar

Maka, mungkin sudah saatnya kita bertanya pada diri sendiri: dalam perjuangan ini, peran apa yang sedang kita mainkan? Apakah kita terlalu sibuk mendongak ke atas, berlomba menjadi pucuk tertinggi, hingga kita lupa untuk menengok ke bawah dan memperkuat akar?

Filosofi tanah subur bukanlah ajakan untuk menjadi pasif atau anti-panggung. Ia adalah sebuah undangan untuk menyeimbangkan niat dan orientasi. Ia adalah pengingat bahwa kontribusi terbesar tidak selalu datang dalam bentuk sorotan. Ada kemuliaan yang luar biasa dalam kerja-kerja sunyi. Ada kepahlawanan yang agung dalam tindakan-tindakan yang tidak mengharapkan imbalan selain ridha-Nya.

Dunia sudah terlalu bising dengan mereka yang sibuk mencari panggung. Kini saatnya bagi kita untuk melahirkan lebih banyak kader yang tidak sibuk mencari pengakuan, melainkan sibuk memberi kontribusi. Kader-kader yang menemukan kebahagiaan bukan saat namanya disebut, tapi saat organisasinya tumbuh dan memberi manfaat.

Merekalah sang tanah subur. Tak terlihat, namun dari rahim keikhlasan merekalah, kehidupan dan peradaban yang besar akan tumbuh.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lirik Mars dan Hymne IMM

Ideologi IMM

Sejarah Singkat IMM