Belajar Menjadi Air: Lembut yang Menembus Batu


gambar dari pinterest

Penulis: Immawan As'ad Fauzuddin Khunaifi (anggota bidang kader Koorkom)

Di tengah dunia yang semakin ramai oleh suara tinggi dan sikap kaku, mungkin kita lupa bahwa ada kekuatan lain yang tak kalah hebatnya. Kekuatan yang tak berbunyi, tapi mengubah. Kekuatan yang tak menggertak, tapi perlahan menembus. Ia tidak datang dalam bentuk badai, bukan pula kobaran api. Ia hadir lewat kehadirannya yang nyaris tak terdengar. Namanya air.

Air jarang dipuja-puji karena kekuatannya, padahal ia bisa mengikis batu. Ia tidak mengaum seperti angin topan, tidak menyala seperti bara. Tapi justru karena itulah, air menjadi guru yang luar biasa. Dalam diamnya, tersimpan pesan yang dalam.


Lentur Mengikuti, Tapi Tak Hilang Arah

Air tidak pernah mempermasalahkan wadah. Dituang ke dalam gelas, ia menjadi gelas. Masuk ke dalam kendi, ia menjadi kendi. Mengalir di sungai, ia mengikuti alurnya. Tapi yang menarik, air tetaplah air. Ia tidak kehilangan dirinya hanya karena bentuknya berubah.

Kita pun bisa belajar darinya. Dalam hidup bermasyarakat, dalam berdakwah, dalam memimpin, kita akan masuk ke dalam banyak ruang. Masing-masing ruang punya bentuk dan budaya yang berbeda. Bila kita terlalu kaku, kita akan pecah. Tapi bila kita bisa lentur, kita akan masuk dan menyatu.

Namun fleksibel bukan berarti kehilangan arah. Menyesuaikan bukan berarti mencairkan prinsip. Air tetap H₂O, meski berubah bentuk. Kita pun demikian. Cara bisa menyesuaikan, pendekatan bisa beragam, tapi nilai dasar harus tetap dijaga.


Ketenangan yang Menyentuh

Api datang dengan suara dan panas. Ia menyala, membakar, menghanguskan. Tapi air datang dengan cara yang berbeda. Ia menyejukkan, memadamkan, menghidupkan kembali.

Kehadiran kita di masyarakat, semestinya seperti air. Bukan menambah gaduh, bukan pula menyulut api baru. Tapi hadir membawa keteduhan, menjadi penyejuk di tengah panasnya konflik dan kebisingan.

Kadang kita terlalu ingin bicara, tapi lupa mendengar. Terlalu ingin didengar, tapi enggan menyentuh. Padahal orang tidak selalu butuh jawaban, kadang mereka hanya butuh didekati. Ditenangkan. Dan itu tak bisa dilakukan oleh lidah yang tajam, tapi oleh hati yang jernih.


Keteguhan yang Tidak Berisik

Mungkin kita bertanya-tanya, bagaimana bisa tetesan air melubangi batu? Ia bukan palu. Ia tidak menghantam dengan keras. Tapi ia terus menetes. Di tempat yang sama. Dengan sabar. Dengan istiqomah.

Air mengajarkan pada kita tentang keteguhan yang senyap. Bukan dalam satu aksi besar yang menggelegar, tapi dalam langkah-langkah kecil yang dilakukan terus-menerus. Satu kebaikan hari ini. Satu lagi besok. Dan begitu seterusnya.

Kita tidak harus menunggu menjadi besar untuk memberi dampak. Kadang, perubahan lahir dari hal-hal kecil yang konsisten. Dari kesetiaan pada proses. Dari kerja yang tidak selalu dilihat, tapi terus dilakukan.


Menjadi Sungai yang Mengalir

Filosofi air mengingatkan kita bahwa kelembutan tidak selalu identik dengan kelemahan. Justru dalam kelembutan itulah terdapat kekuatan yang sesungguhnya. Dunia sudah penuh oleh mereka yang ingin jadi badai. Mungkin sekarang giliran kita untuk menjadi sungai.

Sungai yang tenang. Yang mengalir perlahan tapi pasti. Yang memberi hidup bagi sekitarnya. Yang tidak pernah berhenti sampai ia sampai ke samudra.

Dan barangkali, memang di situlah letak tugas kita. Bukan untuk membuat orang takjub, tapi untuk hadir dan mengalir. Bukan untuk membakar semangat sesaat, tapi untuk menghidupkan harapan yang panjang.

 


Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url