Khudi dan Gagasan Pendidikan Dalam Konteks Indonesia: Rekonstruksi Pendidikan Oleh Sir Muhammad Iqbal
![]() |
gambar dari pinterest |
Pendidikan merupakan hal paling fundamental dalam sejarah umat manusia. Karena pendidikan merupakan sebuah cita-cita kemanusiaan yang universal, maka diperlukannya sebuah konsep filosofi pendidikan untuk menjawab tantangan permasalahan zaman dan memberikan manfaat bagi banyak pihak (Sugiarta et al., 2019). Dalam sejarah umat manusia, pendidikan telah mengalami banyak pergeseran makna dan saling membentuk berbagai budaya pemikiran manusia. Melalui pendidikan, manusia dapat mengenali jati diri, tujuan hidup, dan mengoptimalkan potensinya sebagai manusia yang luhur dan bermoral. Sehingga pertanyaan yang dapat diajukan ialah apakah system pendidikan yang ada saat ini sudah sesuai dengan konteks Indonesia? Untuk siapakah pendidikan ini diberikan? Kemudian pendidikan seperti apa yang dapat ditawarkan dalam konteks Indonesia?
Pendidikan menjadi suatu proses memanusiakan manusia (humanisasi) agar seluruh sikap dan perbuatan manusia sesuai dengan etika dan moral yang berlaku (Siswadi, 2023a). Dalam artian pendidikan haruslah dapat mengembangkan seluruh potensi manusia agar potensi tersebut menjadi nyata dan berfungsi dalam kehidupan sehari-hari, yang bertujuan membentuk pribadi yang seimbang, menyatu, organis, harmonis, dan dinamis guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan (Sugiarta et al., 2019). Permasalahan dalam konteks pendidikan di Indonesia saat ini merupakan menurut Siswadi (2023b) berawal dari sebuah anggapan dalam masyarakat di mana sekolah formal merupakan suatu otoritas tertinggi dalam pendidikan, sehingga muncullah suatu anggapan orang yang tidak bersekolah merupakan manusia tidak berpendidikan. Hal demikianlah yang memunculkan suatu persepsi bahwa otoritas pengetahuan hanya dipegang dan dimiliki oleh orang yang mengenyam bangku sekolah. Lebih lanjut pendidikan dipahami oleh sebagian besar masyarakat sebagai sebuah jalan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, mendapatkan gelar dan penghargaan, serta pengakuan dalam masyarakat. Sebuah pidato yang pernah disampaikan oleh Prof. Jacob (1990), dalam seminari tentang pendidikan dan transformasi budaya di Indonesia, bahwasanya pendidikan di Indonesia sebetulnya harus bertugas mempersiapkan generasi muda beralih dari zaman ke zaman.
Pertanyaannya, sudah sesuaikah pendidikan yang hanya berbasis pada bangku sekolah formal saja sebagai suatu otoritas pemilik pengetahuan? Jawabannya tentu saja tidak, dikarenakan pandangan tersebut menafikan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan tidak hanya dikaitkan dengan berhasilnya seseorang mendapatkan gelar dan ijazah. Melainkan bagaimana dia memperoleh suatu pengetahuan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan masyarakat. Bahkan John Holt, seorang filosof dan pemerhati pendidikan, melakukan kritik bahwasanya dimensi pendidikan yang ada di sekolah tidak sebagus dan sebaik apa, yang ada dalam pikiran masyarakat, karena di sekolah seorang anak tidaklah diajarkan untuk bebas dan berkembang menjadi seperti apa yang dia inginkan (Siswadi, 2023b). sehingga dapat di pahami bahwa pendidikan bukan hanya dilekatkan kepada mereka yang hanya mengenyam bangku sekolah, melainkan mereka yang mau untuk mencari sumber-sumber pengetahuan dan mempertajam karakternya sebagai manusia.
Perlunya rekonstruksi ulang mengenai konsep pendidikan yang ada di Indonesia. Beberapa tokoh pemikir dan pemerhati pendidikan seperti Maria Montessori, K.H Ahmad Dahlan, Muhammad Iqbal, Muhammad Abduh, turut mewarnai pemikiran-pengkonstruksian konsep pendidikan yang ada. Pemikiran Iqbal mengenai tidak hanya berpengaruh di negaranya saja, melainkan juga berpengaruh untuk seluruh dunia (Nudrat & Akhtar, 2014). Iqbal merupakan seorang tokoh intelektual muslim yang sangat berpengaruh pada masanya. Ia dikeal sebagai tokoh filsafat, penyair, dan seorang pembaharu Islam kontemporer (Riyanto, 2022). Iqbal menekankan bahwa pendidikan haruslah membentuk khudi (jati diri autentik) dan kesadaran individu itu sendiri (Ul-Haq, 2022). Lebih lanjut Iqbal menjelaskan pengetahuan sejati merupakan pengetahuan yang mencakup pengalaman empiris, intuisi spiritual, dan pertanggungjawaban moral. Penjelasan Iqbal selaras dengan konsep yang diajukan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwasanya pengetahuan senjati ada karena merupakan hasil dari cipta, rasa dan karsa (Suparlan, 2014).
Salah satu pemikiran Iqbal mengenai pendidikan ialah pada konsep khudi. Khudi merupakan esensi kemanusiaan , pusat spiritualitas, keunikan, dan potensi seorang individu (Ali & Hussien, 2016; Nauman, 2016). Khudi bukan sekadar ego atau keakuan, melainkan potensi ilahiah dalam diri manusia yang harus dikembangkan melalui perjuangan hidup, pengendalian diri, dan kedekatan dengan Tuhan. Iqbal meyakini bahwa hanya dengan membangun khudi, manusia dapat mencapai tingkat kemanusiaan tertinggi, yaitu menjadi Mard-e-Kamil (Insan Paripurna) – sosok yang tidak hanya berilmu dan bermoral, tetapi juga memiliki daya cipta, keberanian, dan kepemimpinan untuk membawa perubahan positif dalam masyarakat. Pengembangan khudi bertujuan agar individu tidak menjadi pasif atau terjebak dalam sistem yang membelenggu, melainkan mampu mengarahkan hidupnya sesuai dengan kehendak Tuhan, menolak ketergantungan pada kekuatan selain Allah, serta menjadi agen pembebasan, pembaharuan, dan pembangunan peradaban yang berkeadilan (Diana & Shapawi, 2024). Pendidikan semacam ini sangat dibutuhkan di tengah krisis orientasi dalam sistem pendidikan kita yang masih cenderung mekanistik dan birokratis.
Dalam membangun Khudi, Iqbal menjelaskan adanya faktor-faktor esensial yang menjadi kekuatan pembentuk keutuhan diri seorang manusia. Di antaranya adalah Ishq (cinta), sebagai kekuatan intuisi spiritual yang mengarahkan manusia dalam proses penciptaan dan perjuangan hidupnya; Faqr, sebagai semangat hidup sederhana dan lepas dari dominasi materialisme; Desire (hasrat), yang menghidupkan dinamika evolusi dan mendorong pertumbuhan diri; serta creative activity, di mana manusia merealisasikan potensi dirinya melalui tindakan yang imajinatif dan produktif. Selain itu, freedom atau kebebasan menjadi unsur penting dalam pengembangan Khudi, sebab hanya dalam suasana yang merdeka seseorang dapat menumbuhkan imajinasi, orisinalitas, dan tanggung jawab personal secara utuh (Bhat & Tantry, 2021)
Pertanyaan berikutnya ialah, untuk siapa pendidikan ini diberikan? Pendidikan diberikan untuk semua insan individu guna memaksimalkan potensinya sebagai manusia, yang diartikan oleh Iqbal sebagai Insan Wal Kamil, manusia utuh yang merdeka berpikir, kuat jiwanya, dan bertanggung jawab secara sosial. Oleh karena itu, pendidikan harus membentuk karakter dan moralitas, bukan hanya kapasitas kognitif. Di mana pendidikan haruslah membentuk karakter dan moralitas, kemandirian dan kebebasan berpikir bagi setiap individu (Nudrat & Akhtar, 2014). Tidak boleh ada dikotomi antara mereka yang "berpendidikan" dan yang "tidak", hanya karena perbedaan jalur belajar. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ki Hajar Dewantara mengenai pendidikan di Indonesia harulsh mengacu pada tri pusat pendidikan, yaitu pendidikan keluarga, pendidikan dalam alam perguruan, dan pendidikan dalam masyarakat (Suparlan, 2014). System pendidikan juga harus dapat terakses oleh semua kalangan di mana pendidikan ditujukan untuk semua, dalam artian membebaskan, bukan membedakan.
Lalu seperti apa pendidikan yang dapat ditawarkan dalam konteks Indonesia? Dalam sejatrah perkembangan pendidikan di Indonesia, Ki Hajar Dewantara ingin memadukan kebudayaan dengan pendidikan. Sehingga model pendidikan berbasis proyek komunitas atau pembelajaran reflektif berbasis nilai lokal dapat menjadi jembatan antara khudi dan praktik pendidikan kontemporer. Iqbal menjelaskan bahwa dalam pendidikan haruslah membangun kesadaran sebagai individu, tanggung jawab sosial, dan keberanian moral. Sehingga kurikulum yang mungkin dapat dimasukkan ialah kurikulum yang membangun keseimbangan antara akal, rasa, dan jiwa; antara individualitas dan kemaslahatan sosial; antara ilmu dan keimanan. Kurikulum yang membangun · ruang untuk eksplorasi diri dan kesadaran sosial. Harapan utama dalam kurikulum yang ditawarkan oleh Iqbal ialah sebuah transformasi yang mengarah pada pembebasan individu (Ali & Hussien, 2016).
Iqbal juga menawarkan sebuah kurikulum seperti Broad based curriculum dan Life-centered curriculum (Bhat & Tantry, 2021). Kurikulum tersebut harus disesuaikan dengan perkembangan dan tantangan zaman baik bagi individu, masyarakat, bangsa, maupun umat manusia secara keseluruhan. Lebih lanjut oleh Iqbal dijelaskan bahwa kurikulum tersebut ditujukan guna mendorong pengembangan kreativitas, moralitas, dan nilai-nilai budaya serta agama.
Sebagai sebuah penutup, pemikiran pendidikan Muhammad Iqbal, khususnya konsep khudi, telah memberikan kontribusi penting dalam merekonstruksikan pendidikan yang membebaskan, membentuk karakter, dan mengembangkan potensi spiritual serta sosial individu. Pendidikan bukan hanya sekadar sarana mendapatkan gelar tertentu atau pekerjaan, tetapi juga harus menjadi proses pembentukan jati diri manusia yang seutuhnya, melahirkan individu yang merdeka berpikir, bertanggung jawab, dan mampu menciptakan perubahan. Dalam konteks Indonesia, pemikiran Muhammad Iqbal sejalan dengan nilai-nilai pendidikan Ki Hajar Dewantara yang menekankan pentingnya integrasi antara akal, rasa, dan moral dalam proses belajar.
Pendidikan di Indonesia perlu direkonstruksi agar tidak hanya berpusat pada institusi formal, tetapi juga menjangkau ruang-ruang belajar di keluarga, masyarakat, dan kehidupan sehari-hari. Melalui kurikulum yang berbasis nilai spiritual, lokal, dan kontekstual, pendidikan dapat menjadi suatu alat transformasi diri dan sosial. Dengan menjadikan khudi sebagai pusat orientasi, pendidikan akan melahirkan insan-insan yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki kesadaran ilahiah, keberanian moral, dan semangat untuk membangun peradaban yang adil dan berkeadaban.