Pramoedya Ananta Toer: Hidup Sungguh Sangat Sederhana, yang Hebat-Hebat hanya Tafsiranya

Gambar dari Pinterest

Penulis: M. Nadlil Pratama (Ketua Bidang RPK TKK Koorkom)

Pramoedya Ananta Toer adalah seorang penulis yang tidak hanya menciptakan cerita, tetapi juga mendefinisikan realitas. Frasa ikoniknya, "Hidup sungguh sangat sederhana, yang hebat-hebat hanya tafsiranya," bukanlah sekadar aforisme, melainkan sebuah pernyataan filosofis yang mengkritik bagaimana manusia, terutama melalui kekuasaan, menjauhkan diri dari esensi keberadaan. Dari sudut pandang novelnya, kalimat ini menjadi lebih dari sekadar perenungan; ia adalah sebuah perlawanan terhadap narasi berlebihan yang menutupi kebenaran sederhana.


Dalam karya-karya Pramoedya, kita sering menemukan tokoh-tokoh yang dipaksa menghadapi kerumitan tafsir yang diciptakan oleh kekuatan di luar diri mereka. Kekuatan tersebut bernama kekuasaan, baik kolonial maupun pascakolonial, selalu mencoba mengendalikan tafsir tentang apa itu "hebat" dan apa itu "benar." Mereka mempolitisasi pendidikan, sejarah, bahkan identitas diri dan orang lain, untuk memastikan tafsir mereka mendominasi. Sederhananya, hidup adalah bekerja keras, mencintai, dan mencari keadilan. Namun, para penguasa menafsirkannya sebagai perjuangan politik atau sebagai arena perang narasi mana yang benar dan salah.


Ambil contoh tokoh Minke dari "Bumi Manusia." Hidup Minke, pada dasarnya, adalah hal yang sederhana: ia ingin belajar, menulis, dan mencintai Annelies. Tetapi, setiap tindakan dan aspirasinya segera dipolitisasi oleh rezim kolonial dan masyarakat yang feodal. Cinta antara ia (pribumi) dan Annelies (keturunan Belanda) ditafsirkan sebagai ancaman rasial dan sosial. Pendidikan yang ia jalani dianggap subversif. Semua hal sederhana dalam hidupnya diberi label politik yang rumit, menjauhkannya dari realitas alaminya. Melalui Minke, Pramoedya menunjukkan bagaimana tafsir politik bisa menghancurkan keindahan dan kebenaran yang paling murni.


Pemikiran Pramoedya ini tidak hanya relevan untuk era kolonial. Dalam dunia modern yang dipenuhi dengan informasi dan media sosial, kita sering menyaksikan budaya “olah-olah” tentang bagaimana peristiwa-peristiwa sederhana menjadi sangat “terhebat-hebatkan”. Misalnya, sebuah foto atau komentar di media sosial bisa menjadi viral dan ditafsirkan secara berlebihan, memicu kontroversi yang jauh dari niat aslinya. Fenomena "narasi berlebihan" ini sering kali menutupi kebenaran dan menciptakan perpecahan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ideologi IMM

Sejarah Singkat IMM

Lirik Mars dan Hymne IMM