Dakwah yang inklusif (Bagian 1)

Gambar dibuat oleh AI
Penulis: M. Ubaidillah Masrur (Alumni IMM Unesa)

Mungkin sudah tiga tahun lamanya terakhir kali saya ikut pengajian atau menjalankan ibadah bersama teman teman difabel. Tepatnya ketika saya masih menjalankan program PLP (Pengenalan lingkungan Persekolahan). Bertepatan dengan maulid nabi, pihak sekolah mengadakan pengajian untuk anak didik, wali, serta guru SLB tersebut. 

Disana saya merasakan rasa takjub terhadap ustad yang diundang untuk mengisi. Bagaimana tidak, karena saya tahu sendiri bagaimana susahnya memberikan ceramah dan pengajaran kepada teman-teman difabel terutama teman dengan hambatan kecerdasan dan autis. Akan tetapi ustadz tersebut mampu menguasai materi dan suasana pengajian. Hingga bisa dikatakan pengajian terasa menyenangkan dan sejuk tanpa ada iringan teriakan atau hal-hal random yang dilakukan oleh siswa. Mungkin karena jam terbang beliau yang konon katanya sudah sering diundang untuk mengisi di SLB tersebut atau mungkin juga karena usaha wali serta guru yang mendampingi anak didik. tapi, dengan jujur pemandangan itu belum saya temukan lagi, bahkan dalam lingkungan dakwah muhammadiyah. 


Sudahkah Dakwah Kita Rahmatan lil 'Alamin?

Pengalaman tersebut membawa saya kepada sebuah pertanyaan, apakah lingkungan dakwah kita sudah mencapai tahapan rahmatan lil alamin?. Secara fundamental, islam bersifat rahmatan lil alamin yang bermakna rahmat bagi seluruh alam. Prinsip ini menegaskan bahwa ajaran Islam harus mampu menjangkau, merangkul, dan memberikan kemudahan bagi setiap individu, tanpa memandang kondisi fisik, mental, maupun sosialnya. 

Namun, apakah dalam praktiknya kita sudah menjalankan hal yang demikian? Beberapa kali kita lupa untuk memasukkan komunitas difabel dalam peta dakwah kita. entah itu karena ketidaktahuan, minimnya perspektif, ataupun hambatan-hambatan lainnya. 


Kesalahan dalam Memahami Rukhsah

Salah satu akar masalah yang sering kita temui adalah pemahaman yang keliru terhadap konsep rukhsah (keringanan dalam beribadah). Fikih memang memberikan banyak keringanan bagi teman difabel, seperti boleh shalat sambil duduk, tidak diwajibkan berpuasa jika membahayakan, atau tidak wajibnya shalat Jumat bagi yang memiliki halangan berat. Sehingga muncul kesalahan fatal dalam pemahamannya, rukhsah menjadi kebebasan total dalam belajar agama. pemahaman ini keliru, karena teman difabel memang diringankan dalam beribadah. Tapi  kewajiban mengenal allah, belajar tauhid, dan belajar akhlaq islam tidaklah gugur dan tidak pula sia-sia. 

Karena anggapan ini beberapa orang berpikir “untuk apa mengajarkan islam kepada mereka. Mereka kan sudah dijamin masuk syurga?” atau “Untuk apa berdakwah kepada mereka, toh mereka sudah mendapat banyak keringanan?”. Pola pikir ini secara tidak langsung menafikan hak dan kebutuhan spiritual mereka untuk tumbuh sebagai seorang Muslim yang utuh. Kurikulum pendidikan dai kita pun jarang sekali membahas "Fikih Difabel" secara komprehensif.


Menuju Dakwah yang Benar-Benar Inklusif

Untuk mewujudkan dakwah yang inklusif, diperlukan sebuah pergeseran paradigma. dari yang sekadar memberi keringanan menjadi sebuah upaya pemberdayaan. Ini bukan lagi soal "apa yang tidak wajib bagi mereka", melainkan "bagaimana kita memfasilitasi hak mereka untuk lebih dekat dengan Allah". Langkah ini harus segera diambil, mulai dari mengkaji Fikih Difabel dan memasukkannya dalam kurikulum para dai, mengembangkan materi dakwah yang aksesibel (seperti video dengan bahasa isyarat atau buku braille), hingga secara aktif melibatkan komunitas difabel dalam merancang program keagamaan. Dakwah yang rahmatan lil ‘alamin  haruslah memastikan tidak ada satu pun umat yang tertinggal. Sudah saatnya kita membuka pintu masjid dan majelis ilmu kita selebar-lebarnya, menyambut mereka bukan sebagai objek belas kasihan. melainkan sebagai sesama hamba yang berhak merasakan kesejukan iman dan Islam secara penuh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ideologi IMM

Sejarah Singkat IMM

Lirik Mars dan Hymne IMM