Menjadi Rembulan di Tengah Gelap

gambar dibuat oleh AI


Penulis: Immawan F kader IMM Unesa

Hari ini dunia terasa semakin gaduh. Suara-suara saling bersahutan, berlomba menjadi yang paling keras. Media sosial penuh dengan debat yang jarang selesai, sementara ruang-ruang diskusi lebih sering jadi tempat adu ego daripada tempat bertukar pikiran. Dalam kebisingan ini, kita mulai merindukan hal-hal yang sederhana: ketenangan, keheningan, kehadiran yang tidak memaksa.

Kalau kita menoleh pada alam, ada dua sumber cahaya yang dikenal manusia: matahari dan rembulan. Matahari bersinar dengan kuasa, terang dan membakar. Ia memberi kehidupan, tapi juga melelahkan jika terlalu lama dinikmati. Lalu datang malam, dan muncullah rembulan. Tidak menyilaukan, tapi cukup untuk menuntun langkah. Tidak membakar, justru membawa sejuk dan rasa teduh.

Barangkali di sinilah kita mulai memahami, bahwa dalam memimpin dan bergerak, tidak selalu harus menjadi matahari. Ada saatnya, kita justru perlu belajar menjadi rembulan. Hadir tanpa gegap gempita, tapi memberi arah dan ketenangan di tengah gelap.

Terang yang Tidak Menyilaukan

Menjadi terang bukan berarti harus selalu menonjol. Kita sering melihat gaya kepemimpinan yang sibuk tampil, bicara keras, dan mengejar sorotan. Tapi terang yang terlalu kuat bisa menyilaukan, membuat orang lain tak bisa melihat apa-apa kecuali sosok itu sendiri.

Pemimpin seperti rembulan punya cara yang berbeda. Ia tidak hadir untuk mencuri perhatian, tapi untuk membantu orang lain melihat lebih jelas. Ia tidak menuntut dikenang, tapi keberadaannya membawa rasa aman. Terangnya tidak menyilaukan, justru membuat sekelilingnya terasa lebih jernih.

Ia mungkin tidak banyak berbicara, tapi pikirannya jernih. Ia mungkin tak mencari tepuk tangan, tapi gerakannya memberi dampak. Pemimpin seperti ini tidak sibuk membangun citra, karena yang ia bangun adalah makna.

Sejuk yang Menenangkan

Di zaman yang serba cepat dan mudah terbakar, tak sedikit pemimpin yang justru ikut menambah panas. Terlalu reaktif, gampang tersinggung, dan sering kali justru menjadi bagian dari masalah yang ingin diselesaikannya.

Pemimpin seperti rembulan mengambil jalan yang berbeda. Ia tidak terburu-buru bicara ketika semua sedang berteriak. Ia memilih diam sejenak, menenangkan diri, lalu menghadirkan kata-kata yang meredakan. Kehadirannya saja sudah cukup untuk membuat suasana lebih tenang.

Ia tidak datang membawa solusi instan, tapi membuka ruang bagi orang lain untuk bernapas dan berpikir. Ia tidak menggurui, tapi menemani. Ia bukan pusat perhatian, tapi tempat pulang bagi mereka yang lelah menghadapi riuhnya dunia.

Pemimpin yang Mau Mendengarkan

Rembulan tidak punya cahayanya sendiri. Ia hanya memantulkan cahaya matahari. Tapi justru itu keistimewaannya. Ia tidak merasa harus selalu menjadi sumber cahaya, tapi tahu kapan harus menyerap dan kapan memantulkan kembali.

Begitu pula pemimpin yang baik. Ia tidak sibuk menyuarakan pikirannya sendiri, tapi hadir untuk mendengarkan. Ia tahu bahwa banyak masalah yang tidak butuh jawaban cepat, tapi butuh telinga yang sungguh-sungguh mau memahami.

Kita sudah terlalu sering melihat pemimpin yang berbicara panjang lebar, tapi tidak mendengar satu pun suara di sekitarnya. Padahal mendengar adalah bentuk kepedulian yang paling sederhana, dan sekaligus yang paling dalam. Dari mendengarkanlah kita bisa memahami, dan dari pemahaman itu, lahir solusi yang lebih membumi dan nyata.

Saatnya Rembulan Muncul

Kita tidak sedang membandingkan siapa yang lebih penting, matahari atau rembulan. Dunia butuh keduanya. Tapi hari ini, ketika semua orang ingin tampil terang dan mendominasi, mungkin saatnya kita belajar jadi rembulan.

Tidak perlu merasa harus selalu tampil. Tidak perlu takut terlihat kecil. Karena cahaya rembulan justru dibutuhkan saat dunia sedang gelap. Ia hadir bukan untuk menguasai, tapi untuk menemani. Bukan untuk mengalahkan, tapi untuk menenangkan.

Ini adalah ajakan untuk para kader persyarikatan, untuk melihat ulang cara kita hadir di tengah masyarakat. Dunia tidak kekurangan orang yang ingin bersinar. Tapi ia butuh lebih banyak sosok yang menerangi dengan cara yang lembut, menuntun dengan keteduhan, dan menguatkan dengan diam-diam.

Menjadi rembulan bukan berarti pasif. Justru di situlah letak kekuatannya. Ia tidak menyilaukan, tapi menerangi. Tidak membakar, tapi menghidupkan harapan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ideologi IMM

Sejarah Singkat IMM

Lirik Mars dan Hymne IMM