Arogansi YMMA: Yang Punya Syahadah Saja Belum Tentu Berani

Penulis: Yang Mulia Kakanda M. Ubaidillah Mashrur

Sebuah unggahan status WhatsApp dari kader IMM Unesa baru-baru ini cukup menggelitik hati saya. Dengan caption "YMMA (yang madya madya aja)", meskipun mungkin unggahan tersebut dimaksudkan sebagai candaan internal pasca-kegiatan Darul Arqam Madya justru merefleksikan sebuah keangkuhan terselubung atas pencapaian yang sejatinya baru merupakan satu tahap. Bahasa sederhananya "wong DAM lagek pirang dino ae kok wes wani ngene". 

​hemat saya, predikat 'kader madya' semestinya disandang oleh mereka yang benar-benar telah memiliki kapabilitas yang sesuai dengan jenjangnya. Kapabilitas ini bukanlah sekadar syahadah, melainkan kemampuan konkret untuk menjadi rujukan. Misalnya, ketika ada isu kebijakan kampus atau masalah sosial di kampus. seorang kader madya diharapkan mampu memberikan analisis awal yang jernih dan terstruktur kepada kader di bawahnya, bukan hanya melontarkan slogan. Jika kompetensi dasar seperti ini saja belum terpenuhi, klaim atas status tersebut terasa prematur. terlebih lagi jika dipamerkan di ruang publik. 

​Fenomena ini mengingatkan saya pada sebuah konsep klasik dalam psikologi sosial yang dikenal sebagai 'Us vs. Them' atau 'Kita vs. Mereka'. Dalam teori ini, kelompok 'kita' (us) sering kali digambarkan sebagai pihak yang lebih unggul. sementara kelompok 'mereka' (them) dipersepsikan sebagai pihak luar yang lebih rendah. Secara tidak sadar, jargon "yang madya madya aja" berpotensi menciptakan dikotomi serupa: 'kami' yang sudah Madya, dan 'mereka' yang belum. 

​Contoh konkret dampaknya sangat jelas: bayangkan seorang kader baru dari jenjang Darul Arqam Dasar yang melihat status tersebut. Alih-alih merasa termotivasi untuk mencapai level yang sama, ia bisa jadi merasa minder atau terintimidasi. Ia mungkin berpikir, "Oh, ternyata ada 'kasta' di antara kami," atau "Saya belum ada apa-apanya dibandingkan mereka." Komunikasi yang seharusnya merangkul dan menginspirasi justru berubah menjadi eksklusif dan menciptakan jarak psikologis. 

​Ironisnya, setahu saya, materi mengenai komunikasi massa merupakan salah satu bahasan dalam Darul Arqam Madya. Dalam materi itu, pasti diajarkan tentang pentingnya kesadaran terhadap audiens (audience awareness). meski terasa personal,audienw dari story whatsapp sangat beragam. Mengabaikan bagaimana pesan ini bisa diterima oleh audiens yang berbeda adalah bukti bahwa teori itu hanya dihafalkan, bukan diinternalisasi. Lantas, mengapa esensinya tidak termanifestasi dalam tindakan yang lebih bijak? 

​Harapan saya, tulisan ini tidak disalahartikan sebagai upaya untuk mematahkan semangat kader. Sebaliknya, semoga ini menjadi pemantik untuk membuktikan bahwa mereka tidak hanya layak menyandang status tersebut, tetapi juga mampu menjadi pribadi yang lebih baik, berilmu, dan rendah hati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ideologi IMM

Sejarah Singkat IMM

Lirik Mars dan Hymne IMM