Senyum Tipis Mahasiswa Akhir dan Pertanyaan: “Lalu, Mau ke Mana Hidupku?“

 

gambar dari pinterest 
Penulis: Immawan Z

Dulu, bangga sekali rasanya menyebut diri ‘mahasiswa semester akhir’. Ada semacam aura bijaksana, sedikit melankolis, tapi tetap terlihat keren. Teman-teman yang baru masuk, atau adik-adik SMA, seringkali memandang dengan tatapan penuh hormat campur sedikit rasa kasihan. “Wah, sudah mau lulus, ya,” kata mereka. Kita cuma senyum tipis, entah karena memang bijaksana, atau karena terlalu lelah pura-pura baik-baik saja. Tapi, jujur saja, di balik senyum tipis itu, ada sebuah pertanyaan abadi yang seringkali bikin perut mules tiap malam: “Lalu, mau ke mana hidupku setelah ini?” Pertanyaan yang sama sekali tidak ada di silabus kuliah manapun, dan tidak ada satupun dosen yang punya jawabannya.


Ini bukan sekadar galau remaja akhir pekan. Ini adalah sebuah episode dalam hidup yang oleh para ahli disebut sebagai ‘quarter-life crisis’, sebuah masa ketika usia kepala dua datang menyapa, dan mendadak kita sadar bahwa peta hidup yang dulu seolah tergambar jelas, kini buyar tak berbekas. Kuliah tak kunjung kelar, tapi juga tak ada motivasi untuk mengakhirinya. Target hidup? Boro-boro. Pemasukan belum ada, tapi pengeluaran gaya hidup seolah menuntut gengsi secangkir kopi yang harganya bikin nasi bungkus menjerit lirih. Urusan pasangan? Ah, itu nanti saja, setelah hidup ini ada bentuknya. Organisasi? Ikut, tapi setengah hati. Hidup pun rasanya tak benar-benar dinikmati, lebih mirip sekadar memenuhi kewajiban bernapas.


Secara psikologis, fase ‘tanpa tujuan’ ini sebetulnya bisa dimaklumi. Kita, para mahasiswa akhir, telah lama mengidentifikasi diri dengan peran ‘pelajar’. Identitas kita terpasung pada tumpukan buku dan deadline tugas. Begitu garis finish terlihat, identitas itu seolah tercerabut. Kita seperti ikan yang tiba-tiba dilempar ke daratan, tergagap mencari air. Ditambah lagi, tekanan perfeksionisme dan jebakan perbandingan sosial di media sosial tak henti-hentinya menghajar. Scroll sedikit, ada teman yang sudah magang di perusahaan multinasional. Scroll lagi, ada yang sudah pamer bisnis online omzet jutaan. Sementara kita? Masih berkutat dengan revisi skripsi yang entah kapan beresnya. Ini mirip kutipan bijak dari Socrates, “The unexamined life is not worth living.“ Tapi bagaimana caranya memeriksa hidup jika kita sendiri tidak tahu harus mulai dari mana?


Secara sosiologis, ekspektasi dari keluarga dan masyarakat juga tak kalah berat. “Kapan wisuda?” “Mau kerja di mana?” “Sudah punya calon?” Pertanyaan-pertanyaan ini bagai tembakan beruntun yang mengarah tepat ke ulu hati. Dunia kerja pun tak kalah menakutkan. Dulu, kuliah teknik, ya jadi insinyur. Kuliah sastra, ya jadi penulis atau dosen. Kuliah pendidikan, ya jadi guru atau dosen. Sekarang? Profesi bisa berubah dalam hitungan bulan, dan skill yang relevan hari ini, besok sudah usang. Tak heran jika ada kecenderungan untuk memanjakan diri dengan ‘konsumsi simbolis’ seperti nongkrong di kafe estetik, sekadar untuk menampilkan citra ‘sibuk’ atau ‘produktif’ di dunia maya, padahal dompet teriak minta ampun. 


Dampak dari kegamangan ini? Jangan ditanya. Secara mental, ini adalah resep sempurna untuk kecemasan, stres, bahkan depresi. Rasa tidak berharga dan inkompeten mulai tumbuh subur. Prokrastinasi menjadi kawan setia, sebab untuk apa memulai jika tujuannya saja tak jelas? Dalam relasi sosial, kita jadi cenderung menarik diri, menghindari teman-teman yang dirasa “lebih sukses”, atau bahkan terlibat konflik dengan keluarga karena tekanan yang ada. Motivasi? Lenyap sudah, bahkan untuk sekadar menyelesaikan hal-hal yang dulunya disukai.


Tapi, fenomena ini, yang sering disebut ‘quarter life emptiness’, tidak hanya terjadi di Indonesia. Di belahan dunia lain pun, Gen Z menghadapi hal serupa. Mereka pun bingung. Lantas, bagaimana mereka menghadapinya? Ada yang memilih gap year untuk berkelana mencari jati diri, ada yang serius mengembangkan side hustle dan kreativitas di luar jalur konvensional, ada pula yang berani mencari bantuan profesional untuk kesehatan mentalnya. Mereka belajar untuk lebih fokus pada purpose atau tujuan hidup, bukan sekadar “mendapatkan pekerjaan”. Mereka juga jeli memanfaatkan platform edukasi online untuk mengembangkan skill yang relevan. Ini seperti sebuah pergeseran paradigma, dari ‘mencari pekerjaan’ menjadi ‘mencari masalah yang ingin dipecahkan’, sebuah kutipan anonim yang mungkin bisa jadi pegangan.


Pada akhirnya, bagi kita, para mahasiswa akhir yang (mungkin) sedang merasa hidupnya tanpa arah ini, mungkin inilah saatnya untuk sejenak berhenti, menarik napas panjang, dan membiarkan diri kita untuk tidak tahu. Biarkan pertanyaan “Lalu, mau ke mana hidupku?” itu menggantung di udara. Karena, kadang, jawaban terbaik tidak datang dari buku atau silabus manapun, melainkan dari keberanian untuk mengakui ketidakpastian, dan dari proses mencari itu sendiri. Mungkin memang tidak ada peta yang pasti, tapi bukankah petualangan justru dimulai ketika kita berani tersesat?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ideologi IMM

Lirik Mars dan Hymne IMM

Sejarah Singkat IMM