Laksmana Perempuan Pertama di Dunia Yang Menggetarkan Kolonialisme Barat: Meneladani Perjuangan Keumalahayati

gambar dari pinterest

Penulis: Abdul Ghani Hasan (Ketua Bidang Organisasi & HPKP PK IMM Solitical)
 

Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, atau tepat 79 tahun yang lalu, tidak lepas dari peran penting para pejuang dalam upaya mengusir penjajah yang telah lama tinggal di bumi Nusantara. Sudah tidak terhitung berapa banyak nyawa yang telah dikorbankan oleh para pahlawan bangsa untuk mendapatkan kemerdekaan sebagai syarat untuk membangun negara yang berdaulat. Salah satu pejuang itu adalah Keumalahayati.

Malahayati adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari kesultanan Aceh. Sebagai perempuan yang berdarah biru, pada tahun 1585-1604, ia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana, Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alaudin Riayat Syah IV.

Bukti-bukti sejarah mengenai keumalahayati ditemukan dalam sebuah manuskrip berangka tahun 1254 H (1875 M) yang kini tersimpan rapi di University Kebangsaan Malaysia. Perempuan perkasa ini berdarah biru, ia berasal dari keturunan kerajaan.

Ayahnya, Mahmud Syah adalah seorang Laksamana. Kakeknya dari garis ayah, juga seorang Laksamana bernama Muhammad Said Syah putra Sultan Salahuddin Syah yang memerintah tahun (1530-1539). Sultan Salahuddin sendiri putera Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530), pendiri kerajaan Aceh Darussalam. Dilihat dari asal keturunannya darah militer berasal dari kakeknya sehingga jiwa patriotisme mengalir di tubuhnya.

Pendidikan Keumalahayati

Sejak kecil, Keumalahayati tumbuh dalam lingkungan keluarga bangsawan yang menjujung tinggi ilmu dan kehormatan. Karena latar belakang keluarganya, ia diberi hak istimewa untuk memilih jalur pendidikanya sendiri, tanpa batasan, tanpa paksaan. Dia memilih Akademi Militer Ma'had Baitul Maqdis, yang berada di Kutaraja, pusat kekuasaan Kesultanan Aceh pada saat itu.

Ma’had Baitul Maqdis bukanlah sembarang tempat belajar. Akademi ini dibangun dari buah kerjasama erat antara Kesultanan Aceh dan Turki Utsmani, dua kekuatan besar dunia islam pada masa itu. Pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Riayat Syah (1537-1571), Aceh mengirmkan utusan ke Turki yang dipimpin oleh Husein Effendi, untuk mempererat hubungan dan mendirikan lembaga pendidikan militer bertaraf internasional di bumi serambi mekkah.

Siapa pun di dalam akademi ini, mereka calon perwira, akan ditempa dengan keras. Mereka dididik untuk menjadi tentara yang berani dan gagah yang akan membela negara mereka sampai titik darah penghabisan. Angkatan Darat dan Angkatan Laut adalah dua cabang utama Ma'had Baitul Maqdis. Dengan penuh keyakinan, Keumalahayati memilih untuk pergi ke lautan untuk mengikuti jejak leluhurnya yang telah lama berhasil di samudera.

Armada Inong Bale

Pada masa Pemerintahan Sultan Alaudin Riayat Syah Al-Mukamil, Portugis kembali menantang kedaultan di lautan Aceh. Pasukan Portugis berhasil di pukul mundur. Teluk Haru menjadi saksi bisu pertempuran besar antara armada laut Aceh dan kekuatan kolonial Eropa itu. Dalam pertempuran Teluk Haru Keumalahayati kehilangan suaminya yang gugur dalam medan perang.

Dalam rangka membuktikan perlawananya, Keumalahayati kemudian menghadap Sultan dan meminta pasukan khusus perempuan yang mengalami nasib yang sama seperti dia yang kehilangan suaminya setelah pertempuran Teluk Haru.

Melihat kecakapan, kejujuran, dan pendidikan militer Keumalahayati, Sultan mengabulkan permintaan itu dengan membentuk Armada Inong Bale. "Inong" berarti perempuan, dan "Balee" berarti teras rumah. Istilah ini mengacu pada teori bahwa wanita bertanggung jawab untuk memimpin dan menjaga keluarga setelah suami meninggal.

Selain itu, peran mereka sebagai penjaga rumah telah berkembang menjadi penjaga batas negeri. Bersama Armada Inong Balee ini, Keumalahayati kemudian menjadi laksamana wanita pertama di dunia.

Serangan ke Kapal De Leeuw & De Leeuwin

Pada 21 Juni 1599, dua kapal Belanda, De Leeuw dan De Leeuwin, berlabuh di pusat Kesultanan Aceh Darussalam. Kapal-kapal itu dipimpin oleh dua bersaudara; Cornelis de Huotman dan Feederick de Houtman. Pada awalnya, kedatangan mereka disambut hangat.

Kesultanan Aceh berharap bahwa dari hubungan ini, pasar lada Aceh akan berkembang dan memberikan keuntungan dagang yang besar. Kedatangan mereka dimanfaatkan oleh para saudagar Aceh dengan menyewa kapal-kapal milik Belanda untuk digunakan berdagang ke Malaka.

Namun, tak semua tampak bersahabat membawa niat baik. Watak asli para pendatang dari Belanda pun terlihat. Sikap mereka yang pongah dan kasar membuat rakyat Aceh jengah.

Dua bersaudara dari Belanda itu justru membuat onar di pasar-pasar, menciptakan kegaduhan yang meresahkan rakyat, dan bahkan menghasut para pedagang dari luar negeri hingga menimbulkan ketegangan di dalam jantung ekonomi Aceh sendiri.

Kepercayaan yang telah diberikan akhirnya dicabik-cabik. Manipulasi perdagangan yang dilakukan Belanda membuat Aceh tersentak, tamu yang datang membawa harapan justru menebar dusta dan kekacauan. Ditambah lagi dengan peningkaran akad perjanjian sewa kapal yang dilakukan pihak Belanda membuat Sultan Alaudin Riayat Syah naik pitam.

Sultan tidak diam. Ia memerintahkan serangan terhadap kapal-kapal Belanda. Dan pada titik itulah, Keumalahayati berdiri di barisan paling depan. Dengan keberanian yang tak biasa dan hati yang terbakar semangat, ia memimpi pasukan Inong Balee menggetarkan lautan Aceh. Dentum meriam memecah angin, dan ombak-ombak menjadi saksi perlawanan Aceh.

Dalam pertempuran itu, Cornelis de Houtman tewas di tangan Keumalahayati. Sedangkan saudaranya, Fedeerick de Houtman ditahan selama dua tahun di penjara Aceh. Disana pula, Feederick de Houtman menulis kamus Melayu-Belanda pertama di Nusantara.

Keteladanan Keumalahayati

· Keberanian

Keberanian Laksamana Keumalahayati meruapkan cermin semangat nasionalisme dan kepemimpinan luar biasa. Meski berasal dari keluarga bangsawan, ia memilih berjuang di garis depan demi mempertahankan tanah air.

· Kepemimpinan

Ia menunjukkan bahwa perempuan juga bisa menjadi pemimpin yang hebat dan mampu memimpin pasukan dalam pertempuran. Kepemimpinannya menjadi simbol perlawanan rakyat Aceh terhadap penjajah dan terus dikenang hingga saat ini

· Negosiator Ulung

Pada Agustus 1601. Malahayati memimpin Aceh untuk berunding dengan dua utusan Maurits van Oranje sent, Laksamana Laurens Bicker dan Gerad de Roy. Mereka sepakat melakukan gencatan senjata. Belanda juga harus membayara 50 ribu Gulden tersebut sebagai kompensasi penyerbuan yang dilakukan van Caerden.

Sebagai bangsa, kita harus mencatat nama-nama seperti Malahayati dalam sejarah untuk mengakui perjuangan mereka dan memberikan inspirasi bagi generasi mendatang bahwa keberanian, kepemimpinan, dan solidaritas adalah nilai-nilai yang dapat mengubah masa depan negara ini.

 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url